"Dokter, tetangga saya meninggal gara-gara usus buntu. Baru-baru ini putri saya, 21 tahun, mengalami sakit perut yang luar biasa hebatnya, sehingga sampai berguling-guling di lantai. Karena katanya usus buntu gejalanya seperti itu, saya takut sekali putri saya juga terserang usus buntu. Saya pun membawanya ke rumah sakit. Setelah memeriksa pasien dan memperoleh hasil laboratorium darah, dokter memutuskan anak saya harus dioperasi malam itu juga.
Namun, karena belum siap, baik finansial maupun mental, saya minta waktu. Dokter mengatakan, risiko ditanggung sendiri kalau terjadi apa-apa. Lalu saya mencari dokter lain. Dokter lain itu bilang, memang sebaiknya dioperasi, tetapi bisa diberi obat antibiotika kalau tidak mau dioperasi. Saya memilih obat saja dulu.
Lima hari setelah minum obat, kondisi putri saya sudah membaik. Boleh dikatakan sudah sembuh total. Saya kembali kontrol ke dokter yang memberinya obat. Dokter melakukan pemeriksaan, dan juga laboratorium darah ulang. Katanya sudah sembuh. Pertanyaan saya:1. Melihat pengalaman putri saya, sesungguhnya apakah kasus usus buntu dapat ditanggulangi tanpa operasi? 2. Kapan sesungguhnya kasus usus buntu memerlukan operasi? 3. Apa bahayanya bila kasus usus buntu tidak dioperasi?"
Ny. Sug. Sus., Jakarta
Tidak Sederhana
Ny. Sug. Sus. di Jakarta, Ya, saya ikut bergembira atas tertanggulanginya penyakit putri Anda. Namun, satu yang perlu dipastikan, yakni ihwal kasus putri Anda itu. Apakah putri Anda itu benar didiagnosis menderita usus buntu atau appendix acute.
Untuk sampai pada diagnosis usus buntu tidaklah sederhana. Di Amerika Serikat saja ada banyak kasus salah diagnosis usus buntu. Sejatinya bukan usus buntu, tetapi cenderung didiagnosis sebagai usus buntu. Memang tidak selalu gampang mendiagnosis usus buntu, terlebih pada anak dan orang usia lanjut. Tidak selalu khas dan jelas tanda dan gejala penyakitnya. Teoretis disebut, serangan usus buntu diawali dengan demam, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, sembelit, atau mungkin diare ringan, dan biasanya tak bisa buang angin.
Namun, tidak semua kasus usus buntu menampakkan diri khas seperti di buku. Beberapa pemeriksaan pendukung diperlukan apabila pemeriksaan fisik pasien masih meragukan. Ada beberapa pemeriksaan spesifik buat menyokong penegakan diagnosis, seperti nyeri tekan di titik Mc Burney perut kanan bawah, tetapi ini pun tak selalu ada.
Ada juga pemeriksaan dengan sengaja mengangkat tungkai kanan pasien setinggi-tingginya atau menekuk sendi paha sedalam-dalamnya ke arah perut, pemeriksaan colok dubur, atau pada yang sudah menikah dilakukan colok vagina. Namun, semua itu belum tentu cukup untuk dapat mendiagnosis usus buntu secara tepat. Pemeriksaan darah laboratorium juga tidak khas. Sel darah putih (leukosit) kemungkinan meninggi. Namun, adakalanya tidak atau belum terjadi (pergeseran sel darah putih untuk sel-sel polymorphonuclear). Ini pun tidak selalu khas usus buntu.
Sebaiknya Dioperasi
Tentu ada cara lain dengan melakukan pencitraan, mulai dari foto dengan kontras, USG, untuk melihat seperti apa kondisi usus buntunya. Jika memang sudah terjadi proses peradangan, tentu usus buntunya sudah berubah dalam ukuran, selain kemungkinan adanya sumbatan pada lumennya.
1. Aturannya, kalau memang jelas terjadi peradangan (infeksi) usus buntu, ya sebaiknya dioperasi untuk membuangnya. Umumnya, usus buntu yang sudah terinfeksi akan berakhir dengan membusuknya sel-sel dinding usus. Dinding usus buntu yang membusuk cenderung akan pecah (perforasi) sehingga isi usus akan tumpah memasuki rongga perut.
Kondisi tumpahnya isi usus akan menimbulkan keadaan gawat darurat perut (acute abdomen), sehingga tindakan operasi perlu dilakukan (kegawat-daruratan medis). Jika tidak, nyawa bakal terancam akibat rongga perut tercemar infeksi perut yang menyeluruh (peritonitis). Peliknya, pasien usus buntu yang datang untuk diperiksa dokter tentu tidak selalu dalam kondisi yang sama stadium penyakitnya.
Mungkin masih sangat awal, ketika usus buntunya baru saja meradang, membengkak, dan menjadi abses (bisul). Bisa juga ketika datang sudah lebih dari sekadar abses, melainkan usus buntunya sudah di ambang pecah. Dan hanya soal waktu saja jika tidak segera dioperasi.
Kalau pada pencitraan usus buntu menunjukkan radang, kemungkinan pada saat itu penyakitnya memang masih sangat awal. Umumnya pada stadium ini, pemberian obat antibiotika masih bisa membatalkan berlanjutnya proses infeksi usus buntunya. Kemungkinan itu yang terjadi pada putri Anda.
Bahwa dokter rumah sakit menganjurkan operasi, bisa jadi penilaiannya pada saat itu sudah berindikasi untuk operasi. Dokter yang paling tahu dari membaca hasil pencitraan usus buntu, sehingga berdasarkan hasil pemeriksaannya itu, ia memutuskan kalau kasus putri Anda itu berindikasi untuk dibedah.
Bahwa kemudian ternyata dapat ditolong dengan obat antibiotika, itulah seninya ilmu kedokteran (the art of medicine). Seni bagaimana seorang dokter membaca dan menyikapi sebuah kasus. Tidak ada yang pasti untuk setiap kasus yang sama pada orang yang berbeda. Kompetensi, seni pendekatan dokter terhadap pasien, jam terbang dokter, menentukan apa yang akan dokter putuskan terhadap suatu kasus, yang belum tentu sama dengan keputusan sejawatnya yang lain.
2. Kapan kasus usus buntu dioperasi, ya aturannya begitu diagnosis usus buntunya berhasil ditegakkan, yaitu pada saat ususnya sudah terinfeksi, membengkak, meradang, dan di ambang pecah. Operasi dilakukan sebelum bisul usus buntunya telanjur pecah. Bahwa dokter memutuskan untuk melakukan pembedahan usus buntu ternyata diagnosis yang meleset, bisa saja terjadi. Di AS sebagian diagnosis usus buntu, ternyata kasus yang salah diagnosis. Oleh karena perut pasien sudah kepalang dibuka, usus buntu yang sehat pun sekalian dibuang saja, toh memang tidak ada gunanya.
Lebih sering meleset lagi mendiagnosis usus buntu pada kaum Hawa, karena tumpang tindih dengan indung telur. Nyeri perut usus buntu juga tersamar oleh radang kelenjar ludah perut pankreas, atau ada batu kandung empedu, infeksi ginjal, atau penyakit usus besar.
Menanggung Risiko
3. Kasus usus buntu yang beridikasi harus dioperasi, tetapi tidak dioperasi, pasien menanggung risiko pecahnya usus buntu yang sudah membusuk. Tumpahan isi usus ke rongga perut yang biasanya memerlukan pembedahan yang lebih luas dan berisiko mengancam nyawa, terlebih apabila sampai terlambat ditangani.
Kecurigaan adanya komplikasi usus buntu muncul apabila nyeri perut, di mana pun lokasi nyerinya, mulai bertambah hebat, dan demam meninggi (lagi), lalu jika darah diperiksa, sel darah putihnya meningkat sekali (di atas 10 ribu). Kalau pasien memperhatikan, dinding perut mengeras seperti papan pada perabaan, nyeri perut menyebar hampir ke sekujur perut, dan muntah-muntah yang hebat.
Kasus usus buntu yang sudah komplikasi terlihat dari cara pasien berjalan. Selain agak terbungkuk-bungkuk, saking menahan nyeri perut yang luar biasa, lengan kanan pasien tertekuk berada di perut atas, seakan tengah menggendong dinding perut.
Sekarang dengan pencitraan usus yang lebih canggih, mestinya kecil kemungkinan kasus usus buntu sampai lolos atau salah diagnosis. Namun, mengingat semakin canggih alat yang digunakan semakin tinggi pula ongkos yang harus dibayar pasien, tidak selalu perlu dilakukan pemeriksaan dengan peralatan canggih kalau gejala dan tanda klinis serta laboratorium darah sudah sangat jelas.
Dulu dilakukan pemeriksaan kontras barium lewat bawah untuk melihat bayangan, apakah lumen usus buntu sudah tersumbat ataukah tidak. Dapat pula dilakukan dengan cara minum segelas barium, dan ditunggu 24 jam untuk membaca bayangan usus buntu yang sama (appendectography).
Cara terakhir ini yang masih dinilai lebih efisien. Selain lebih murah, tak perlu tindakan (invasif), dan tanpa persiapan khusus pula. Pasien cukup diberi minum barium kontras sehari sebelum hasilnya akan dibaca.
Terima kasih atas informasinya..
ReplyDelete