Tuesday, March 3, 2009

Mata Merah, Mata Terangsang

Soal rangsang-merangsang biasanya menarik dibicarakan. Tergantung konteksnya. Bagaimana kalau yang terangsang mata? Biasanya sih ia langsung memerah, bahasa kerennya iritasi gitu loh. Namun, apakah semua mata merah pertanda iritasi? ===== Siapa pun orangnya, pasti pernah mengalami mata merah. Misalnya, lantaran kena asap kendaraan bermotor, terkena gas irisan bawang, alergi, sampai kelilipan debu. Menurut dr. Raman R. Saman, dokter mata di Laser Sight Centres Indonesia, Jakarta, iritasi mata terjadi bila indera penglihatan mengalami rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh.

Bentuk rangsangannya beragam, mulai dari benda padat, gas, sampai zat kimia. “Warna merah muncul di mata sebagai reaksi atas datangnya rangsangan, berupa pembuluh darah yang melebar. Jadi, iritasi itu sesungguhnya usaha tubuh secara alamiah untuk menolak zat yang mengganggu mata, jelas dr. Raman. Makanya, mata berubah jadi merah. “Tapi Dok, setiap bangun tidur, mata saya juga sering merah. Apa itu juga gejala iritasi mata? tanya Tinneke, yang mengaku punya penyakit susah tidur. Sabar-sabar. Semua bakal dapat tanda-tangan, eh jawaban.

Beri kesempatan bernapas Menurut dr. Raman R. Saman, meski rata-rata disebabkan rangsangan, penyebab dan kadar keparahan mata merah tak bisa dipukul rata. Pun tidak semuanya bermuara pada iritasi. Contohnya, seperti dialami Tinneke, ketika bangun tidur di pagi hari, kadang mata tiba-tiba saja terlihat merah. Mata tidak terasa sakit dan makin lama makin luntur warna merahnya. Adakah yang mesti dikhawatirkan Tinneke? Jawabannya jelas tidak. Penjelasannya kira-kira begini. Ketika bertugas, mata membutuhkan pasokan oksigen yang cukup, baik dari luar maupun dari dalam tubuh.

Ketika tidur, mata tidak mendapatkan cukup oksigen dari luar, meskipun tetap mendapatkan pasokan oksigen dari dalam badan. Dengan kata lain, jumlah oksigen yang masuk lebih sedikit. Agar tidak kekurangan oksigen, mata melakukan antisipasi dengan melebarkan pembuluh darah. Dengan melebarkan pembuluh darah, pasokan oksigen bisa tercukupi, kira-kira sama seperti ketika mata sedang melek. Makanya, saat bangun tidur, mata terlihat merah. Jika selain merah, mata juga terasa capek dan pedih, cobalah ingat-ingat dengan cermat. Apakah pada malam harinya terlalu lelah bekerja? Kalau jawabannya ya, tidak ada yang perlu dicemaskan.

Dengan cukup istirahat, mata akan kembali normal. Sebaliknya, kalau merahnya mata diikuti rasa sakit, pedih yang berlangsung sampai tiga hari berturut-turut, misalnya, sebaiknya segera periksakan diri ke dokter. Sebelum itu, untuk meredakan sakit mata dapat diberi obat tetes atau salep mata yang mengandung antibiotik.

Gejala kekurangan oksigen yang sangat potensial berubah menjadi iritasi salah satunya adalah lantaran pemakaian lensa kontak yang terus-menerus. Secara fisik, bola mata kita sebenarnya berlubang atau berpori-pori, sama seperti kulit, jelas dr. Saman. Pemakaian lensa kontak terus-menerus, tanpa pernah dilepas dapat membuat mata tak bisa bernapas dengan bebas, karena tertutup rapat oleh lensa kontak. Jadi, anjuran untuk sesekali melepas lensa kontak, selain bermanfaat untuk perawatan dan menjaga kebersihan lensa kontak, juga agar dapat sejenak membiarkan bola mata mengambil napas dengan bebas. Pemakai pun dapat sekalian meneliti lensa kontaknya, apakah masih utuh dan tidak kering. Kalau ada yang gempil sedikit saja, bisa melukai mata. Pakai kaca mata Ada lagi mata merah yang hilang-timbul dalam jangka waktu lama. Gejala seperti itu biasanya disebabkan oleh alergi yang datang dan pergi, serta berlangsung dalam waktu lama. Kadang disertai rasa gatal yang mereda jika mata tidak “berkomunikasi dengan debu, angin, atau serbuk pemicu alergi (alergen) lainnya.

Untuk menyembuhkan mata merah kambuhan ini, penderita harus dapat melacak faktor pencetus alergi pada bola matanya. Mata yang mengalami alergi umumnya memiliki tanda-tanda gatal, berwarna merah, serta kadang keluar bintil-bintil kecil (jika kena alergi debu atau serbuk tanaman). Dibutuhkan tetes mata yang bersifat disensitifikasi atau pencegah cetusan, atau obat tetes antihistamin untuk menghilangkan gejala-gejalanya. Pengidap TBC, campak, difteria, cacingan dapat juga terserang gejala mata merah. Untuk yang satu ini, tentu tidak akan sembuh begitu saja hanya dengan antibiotik. Penderita harus menyembuhkan dulu penyakit induk yang menjadi akar penyebab merahnya mata. Misalnya, kalau mata merah ternyata bagian dari campak atau cacingan, ya campak dan cacingannya dulu yang harus diberantas tuntas.

Risiko terkena iritasi mata lebih mungkin menyerang mereka yang bekerja di lapangan terbuka. Di sana banyak sekali musuh mata, seperti debu, asap kendaraan bermotor, cairan bahan kimia atau gas, yang siap "merangsang" jika pemiliknya lengah. Namun jangan khawatir, banyak cara untuk mengantisipasinya. Salah satunya, yang paling praktis, memakai kaca mata pelindung, terutama di tempat-tempat yang dicurigai banyak mengandung polusi. Bagaimana dengan mereka yang suka berenang? Bukankah sehabis berenang, mata juga sering berubah jadi merah? Versi Raman, gejala yang satu ini tak perlu dirisaukan. Mata akan pulih kembali dengan sendirinya.

Mata menjadi merah umumnya bukan akibat kemasukan bakteri, tetapi karena kaporit pada air kolam renang. Kaporit sendiri justru mengandung antiseptik yang dapat melindungi mata dari berbagai zat berbahaya. Budaya obat tetes Masih menurut dr. Raman, mata manusia sebenarnya sudah dilengkapi dengan sistem perlindungan yang sangat baik. Benteng perlindungan pada indera penglihatan ini dari sononya dibuat berlapis-lapis. Lapisan paling luar dikoordinasikan oleh bulu mata dan alis mata. Sedangkan pertahanan bagian dalam ada pada gerak refleks kedip serta air mata yang dilengkapi susunan kimia tertentu yang tiada tandingannya.

Dengan benteng sekuat itu, menurut Raman, iritasi pada mata sejatinya bisa hilang dengan sendirinya alias sembuh secara alamiah. Kecuali pada orang-orang tertentu yang sangat peka atau perasa, daya sembuhnya mungkin akan lebih lama, bahkan kadang perlu diobati atau dibawa ke dokter mata. Tentang penggunaan obat tetes mata, seperti disitir dr. Raman, sebenarnya boleh-boleh saja. Cuma, sebaiknya penggunaannya untuk waktu-waktu tertentu, tidak terus-menerus dan berlarut-larut. Obat tetes mata, misalnya diperlukan pada saat mata kering atau produksi air mata kurang karena faktor usia, penderita glaukoma (tekanan bola mata yang terlalu tinggi), atau saat terkena infeksi atau alergi. Sulitnya, mentang-mentang mudah didapat di warung-warung pinggir jalan, kadang obat tetes mata dianggap sebagai makanan sehari-hari.

Pergi ke mana-mana selalu membekali diri dengan obat tetes mata. Begitu mata merah, langsung ditetesi dua atau tiga tetes. Iritasi memang hilang tak berbekas, tapi bekas-bekas yang diakibatkan efek sampingannya bisa jauh lebih berbahaya. Itu sebabnya, untuk sebab-sebab serius, pemakaian obat tetes mata harus atas anjuran dokter, karena yang ada di pasar bebas mengandung zat penyempit atau pengerut pembuluh mata (vaso constriction). Kalau pembuluh darah mengerut, aliran darah bisa terhambat. Ini sangat berbahaya bagi penderita yang memiliki bakat glaukoma. Jika digunakan secara berlebihan, glaukoma yang semula bersembunyi dapat muncul tiba-tiba menimpa si pemilik mata.

Dr. Raman menganjurkan, sementara iritasi diobati, dicari juga apa penyebabnya. Kalau iritasinya karena asap rokok, sebaiknya berhenti merokok. Bisa juga karena tidak cocok pada produk kosmetik tertentu, misalnya bedak atau perona mata. Beberapa orang diketahui sensitif pada kandungan kimia yang terdapat pada produk kosmetik. Kalau iritasi terjadi akibat terkena cairan kimia, segera bilas dengan air bersih sebanyak-banyaknya.

Untuk membersihkan mata tidak perlu pakai boor water, dengan air bersih sudah cukup. Kemudian segera saja ke dokter. Jika ditunda-tunda, iritasi yang telanjur parah bisa menumbuhkan pterigium (daging tumbuh), yang lambat laun dapat menutupi pupil mata dan mengganggu penglihatan. Untuk mengikis dan menghilangkannya, perlu operasi kecil dan tentu saja, biaya tak sedikit. Kalau masih dapat dicegah, mengapa harus menunggu masuk ruang bedah?

No comments:

Post a Comment